Jasa pelatihan untuk meningkatkan kompetensi berbisnis, dan strateginya di Indonesia, khususnya di kota-kota besar termasuk Jakarta masih jauh dari titik jenuh. Karena jumlah ideal entrepreneurship (kewirausahaan) di Indonesia masih jauh dibanding dengan negara-negara lain, termasuk Amerika. 240 juta penduduk Indonesia, seharusnya memiliki sekitar 2 persen atau sekitar 4,8 juta wirausaha. Tetapi faktanya, Indonesia baru hanya memiliki 1,23 persen atau sekitar 2,9 juta wirausaha dengan berbagai kategorinya. “Indonesia masih kekurangan lebih dari satu juta wirausahawan baru. Sehingga berbagai pelatihan strategi bisnis masih belum jenuh,” CEO PT. Formula Bisnis Indonesia (FBI) mengatakan kepada Redaksi.
Jumlah wirausaha Indonesia yang sekarang, yaitu sekitar 3,6 juta masih lebih baik ketimbang sepuluh tahun yang lalu. Dari tahun ke tahun, ada peningkatan jumlah wirausahawan baru di Indonesia. “Sebelumnya hanya sekitar 0,4 persen atau kurang dari satu juta, dibanding 240 juta penduduk Indonesia yang berbisnis, dan wirausaha.”
Kalau jumlah pebisnis, wirausaha sudah mencapai sekitar 4,8 juta, mungkin kegiatan pelatihan bisnis juga semakin kurang dibutuhkan. Sebagai perbandingan, Amerika sudah menciptakan 7 persen dari 315 juta penduduknya. Indonesia, bukannya tidak mungkin mencapai angka ideal seperti di Amerika. Sehingga salah satu cara yang efektif untuk mendongkrak jumlah wirausaha Indonesia, yaitu dengan berbagai kegiatan pelatihan dan pendampingan. Seorang pelatih atau coach yang handal bagi para bisnis owner, hasilnya efektifitas menjalankan organisasi bisnisnya. Coach biasanya memberi tambahan kemampuan dalam mengembangkan potensi personal, mengorganisir sumber daya manusia dalam sebuah tim, membuat keputusan-keputusan taktis maupun strategis yang terarah dan terukur, menyusun program kerja untuk pencapaian target usaha/organisasi dan lain sebagainya.”Jumlah coach di Indonesia masih di bawah seribu orang. Seribu dibanding dua juta calon pebisnis, atau wirausaha baru, masih timpang. Sehingga prospek penyelenggaraan pelatihan, coaching untuk bisnis masih sangat tinggi di Indonesia.”
Calon wirausaha baru juga harus jeli dengan berbagai tawaran iklan pelatihan bisnis. Karena begitu banyak kegiatan seminar, lokakarya, tapi berbeda dengan jasa pendampingan. Selama ini, kegiatan seminar dan lokakarya bisnis sudah terlalu banyak. Tetapi jasa pendampingan atau coaching masih relatif sedikit. “Jasa konsultan juga beda dengan coach. Karena banyak konsultan di Indonesia yang gagal menemukan rahasia perusahaan. Konsultan tidak bisa mendeteksi beberapa sisi kelemahan atau keunggulan management perusahaan. Karena konsultan tidak mendampingi, hanya bekerja dengan pakem (alat, perangkat) nya sendiri. Ketikan konsultan diminta untuk set up perusahaan yang konvensional menjadi modern, itu bukan perkara mudah.”
Misalkan beberapa perusahaan yang dikelola secara konvensional oleh keturunan Tionghoa, managementnya masih sangat konservatif dengan beberapa hal tertentu. Contohnya perusahaan yang konservatif pada umumnya menangani tagihan (piutang) bisa memakan waktu dua, tiga bulan. Tetapi kalau seorang konsultan memaksa untuk penyelesaian tagihan selamasatu minggu, hal ini bisa kontraproduktif. “Customers bisa kabur, karena dipaksa untuk bayar (tagihan) dalam waktu satu minggu. Sehingga seorang coach tidak bisa memaksakan pakemnya untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Coach juga tidak bisa membawa pakemnya untuk perusahaan yang butuh strategi bisnis menjadi perusahaan modern.”
Coaching yang ideal dan elegan harus dibarengi dengan sikap kompromi dengan pemilik perusahaan. Coach tidak bisa memaksaka satu pakem cara tradisional. Sehingga coach yang baik juga harus terlebih dahulu membedah kinerja perusahaan. Karena pada umumnya kegiatan coaching harus menyesuaikan dengna kondisi perusahaan. Pada umumnya, kondisi perusahaan dibagi dalam empat kategori atau tahapan untuk coaching nya. Tahap pertama, yaitu coach untuk perusahaan yang baru tahap start up. Tahap kedua dan selanjutnya, yaitu restrukturisasi, recovery, dan ekspansi. Tahap start up, ketika orang baru mulai terutama pada perusahaan milik orang Tionghoa di Indonesia, masih sering terjadi perbedaan mindset antara orang tua dengan anaknya sebagai penerus. Karena mindset orang-orang tua keturunan Tionghoa yang sukses berbisnis, tidak selalu bisa menurunkan kepada anak-anaknya sebagai penerus. Sehingga ketika FBI mengadakan survey di Universitas Bina Nusantara, ternyata ada ketimpangan antara mindset orang tua dengan anak-anaknya. Sebagian besar anak-anaknya mengacu pada ilmu bisnis yang diperoleh dari bangku kuliah.Tetapi hal tersebut tidak selalu applicable. Sementara orang tua yang konservatif, tidak modern tidak selalu bisa menerima hal-hal modern, seperti komputerisasai dan lain sebagainya. “Sehingga beberapa kali, peran coach yang harus bisa menjembatani komunikasi antara apa yang diingini orang tua sebagai pemilik perusahaan dengan kemauan anaknya. Sering terjadi benturan. Hal-hal seperti ini yang tidak bisa ditangani oleh konsultan, yang kadang hanya membawa pakemnya sendiri untuk memberi strategi bisnis perusahaan.”